belajar dari air
Siklus air adalah simbol kesabaran atas konsensus alam. Air tidak pernah mengeluh ketika dipanaskan ataupun didinginkan, bahkan dengan dua kondisi itu ia bisa memberikan manfaat bagi orang yang membutuhkan.
Salah satu sifat istimewa air adalah selalu mengikuti wadah yang ditempatinya. Tanpa mengubah kandungannya. Ketidakberubahan itu menunjukkan keistiqomahan dan fleksibilitas air dalam beradaptasi. Seperti itulah semestinya kita. Dimana pun berada kita harus selalu bisa menyesuaikan diri, beradaptasi dan tidak mudah mengeluh terhadap kondisi yang terjadi dan menimpa pada saat ini, bahkan lebih jauh lagi kita bisa mengisi lingkungan tersebut dengan nilai-nilai kebaikan dan tetap memberikan konstribusi dalam keadaan apapun juga.
Ketika berinteraksi di dalamnya, dituntut juga untuk selalu memegang identitas diri yang tidak akan berpengaruh dan bersekutu terhadap sesuatu keburukan. Bagaikan air yang tak akan bercampur dengan minyak dan hanya bercampur dengan bahan senyawanya.
Air juga tidak pernah bisa dibendung dan terbendung. Tertutup satu jalan di depan, ia akan berusaha mencari jalan lain dan terus mencari sampai jalan itu benar-benar didapatkan. Air tidak pernah menyia-nyiakan lubang bocor di ember atau di bak sekecil apapun. Ia akan mengalir deras menuju kebebasan bergerak dan keberhasilan.
Seperti air, tidak seharusnya kita sebagai manusia menyerah pasrah dan putus asa, setiap kali membentur halangan dalam meraih cita-cita.
Bagaikan air yang membuat batu berlubang ataupun yang mengikis karang, dengan butiran-butiran kecil ataupun desiran buih yang serempak tapi terus-menerus tanpa mengenal lelah ataupun berhenti sesaat selama masih terdapat aliran, begitulah seharusnya kita. Tak kan pernah berhenti tuk selalu berusaha. Sekeras apapun tantangan yang ada, jika kita lakukan dengan kesabaran yang tulus dan keikhlasan tentu akan memperoleh hasil. Dan usaha yang dilakukan haruslah terus-menerus tak kenal henti hingga ajal menjelang.
Belajarlah dari sifat air dalam kehidupan kita, karena hidup adalah bagaimana kita menulis dan memaknainya, dengan Allah sebagai Maestronya. Berjuanglah karena itu menjadikan kita hidup. Jadikan sabar sebagai penolongmu, jadikan ikhlas sebagai niatmu, jadikan tawakal sebagai pengingatmu. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua.
Beragamakah Anda ?
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong
pertanyaan beruntun.
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya
pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan
menghadapi tiga pilihan, yang harus
dipilih salah satu: pergi ke masjid
untuk shalat Jumat, mengantar pacar
berenang, atau mengantar tukang becak
miskin ke rumah sakit akibat tabrak
lari, mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong
orang kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak
sembahyang?" kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu,"
jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu
namanya mau masuk surga tidak ngajak-
ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum
tentu Tuhan memasukkan ke surga orang
yang memperlakukan sembahyang sebagai
credit point pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang
saat itu juga harus ditolong, Tuhan
tidak berada di mesjid, melainkan pada
diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada
sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang
sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang
kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang
kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha
berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang
mana dari tiga orang ini. Pertama,
orang yang shalat lima waktu, membaca
al-quran, membangun masjid, tapi
korupsi uang negara. Kedua, orang yang
tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-
quran, menganjurkan hidup sederhana,
tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan
mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak
membaca al-quran, tapi suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang
yang ketiga. Kalau korupsi uang negara,
itu namanya membangun neraka, bukan
membangun masjid. Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya bukan membaca al-
quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau
korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang,
tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang
suka beramal, tidak korupsi, dan penuh
kasih sayang, itulah orang yang
sesungguhnya sembahyang dan membaca al-
quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak
hanya diukur lewat shalatnya. Standar
kesalehan seseorang tidak melulu
dilihat dari banyaknya dia hadir di
kebaktian atau misa. Tolok ukur
kesalehan hakikatnya adalah output
sosialnya: kasih sayang sosial, sikap
demokratis, cinta kasih, kemesraan
dengan orang lain, memberi, membantu
sesama. Idealnya, orang beragama itu
mesti shalat, misa, atau ikut
kebaktian, tetapi juga tidak korupsi
dan memiliki perilaku yang santun dan
berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah
perilaku. Agama adalah sikap. Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan,
belas kasih, dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-
quran, pergi kebaktian, misa, datang ke
pura, menurut saya, kita belum layak
disebut orang yang beragama. Tetapi,
bila saat bersamaan kita tidak mencuri
uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar,
hidup bersih, maka itulah orang
beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang
sesungguhnya bukan dari kesalehan
personalnya, melainkan diukur dari
kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan
pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang
beragama adalah orang yang bisa
menggembirakan tetangganya. Orang
beragama ialah orang yang menghormati
orang lain, meski beda agama. Orang
yang punya solidaritas dan keprihatinan
sosial pada kaum mustadh'afin (kaum
tertindas). Juga tidak korupsi dan
tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya
memunculkan sikap dan jiwa sosial
tinggi. Bukan orang-orang yang
meratakan dahinya ke lantai masjid,
sementara beberapa meter darinya, orang-
orang miskin meronta kelaparan.
Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu
ketika Nabi Muhammad SAW mendengar
berita perihal seorang yang shalat di
malam hari dan puasa di siang hari,
tetapi menyakiti tetangganya dengan
lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab
singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah
ritual saja belum cukup. Ibadah ritual
mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus
harus melahirkan kepedulian pada
lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan,
agama jangan dipakai sebagai tameng
memperoleh kedudukan dan citra baik di
hadapan orang lain. Hal ini sejalan
dengan definisi keberagamaan dari
Gordon W Allport. Allport, psikolog,
membagi dua macam cara beragama:
ekstrinsik dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai
sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama
dimanfaatkan demikian rupa agar dia
memperoleh status darinya. Ia puasa,
misa, kebaktian, atau membaca kitab
suci, bukan untuk meraih keberkahan
Tuhan, melainkan supaya orang lain
menghargai dirinya. Dia beragama demi
status dan harga diri. Ajaran agama
tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara
beragama yang memasukkan nilai-nilai
agama ke dalam dirinya. Nilai dan
ajaran agama terhujam jauh ke dalam
jiwa penganutnya. Adanya internalisasi
nilai spiritual keagamaan. Ibadah
ritual bukan hanya praktik tanpa makna.
Semua ibadah itu memiliki pengaruh
dalam sikapnya sehari-hari. Baginya,
agama adalah penghayatan batin kepada
Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah
yang mampu menciptakan lingkungan yang
bersih dan penuh kasih sayang.
Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama
yang tidak tulus, melahirkan egoisme.
Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan
manusia mencari kebahagiaan, kata Leo
Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak
pada kesenangan diri sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang
intrinsik menciptakan kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan
dalam diri penganutnya dan lingkungan
sosialnya. Ada penghayatan terhadap
pelaksanaan ritual-ritual agama.
Cara beragama yang ekstrinsik
menjadikan agama sebagai alat politis
dan ekonomis. Sebuah sikap beragama
yang memunculkan sikap hipokrit;
kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan
Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut
tentang bid'ah dalam shalat dan haji,
tetapi dengan tenang melakukan bid'ah
dalam urusan ekonomi dan politik. Kita
puasa tetapi dengan tenang melakukan
korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan
penindasan.
Indonesia, sebuah negeri yang katanya
agamis, merupakan negara penuh
pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9
Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan
17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik
api yang sewaktu-waktu siap menyala.
Bila tidak dikelola, dengan mudah
beralih menjadi bentuk kekerasan yang
memakan korban. Peringatan Newsweek
lima tahun lalu itu, rupanya mulai
memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku,
Papua Barat, Aceh menjadi contohnya.
Ironis.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam
Alternatif , menulis betapa banyak umat
Islam disibukkan dengan urusan ibadah
mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan
kemiskinan, kebodohan, penyakit,
kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan
hidup yang diderita saudara-saudara
mereka. Betapa banyak orang kaya Islam
yang dengan khusuk meratakan dahinya di
atas sajadah, sementara di sekitarnya
tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit
dan kekurangan gizi.
Kita kerap melihat jutaan uang
dihabiskan untuk upacara-upacara
keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-
sudut negeri ini tidak dapat
melanjutkan sekolah. Jutaan uang
dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang
tua masih harus menanggung beban
mencari sesuap nasi. Jutaan uang
dipakai untuk naik haji berulang kali,
di saat ribuan orang sakit menggelepar
menunggu maut karena tidak dapat
membayar biaya rumah sakit. Secara
ekstrinsik mereka beragama, tetapi
secara intrinsik tidak beragama.
Saudaraku,
Akankah kamu akan menjadi anak yang durhaka....
| PERJALANAN HIDUP...!!!!!
waktu kamu berumur 18 tahun, dia menangis terharu ketika kamu lulus SMA.. sebagai balasannya ... kamu berpesta dengan teman-temanmu sampai pagi
Sayangilah Ia Sebelum Waktumu Habis Ditulis oleh Lukman Hermawan pada 22 Sep, 2010 | Kategori: Nice Story Seorang Ibu yang sudah tua duduk di kursi rodanya suatu sore di tepi danau, ditemani anaknya yang sudah mapan dan berkeluarga. Si ibu bertanya:, “Itu burung apa yg berdiri disana?” Tak lama kemudian si mama bertanya lagi.. “Itu yang warna putih burung apa?” Kemudian ibunya kembali bertanya.. “Lantas itu burung apa?” Ibunya menunjuk burung bangau tadi yang sedang terbang… Air menetes dari sudut mata si ibu tua sambil berkata pelan.. “Dulu, 35 tahun yang lalu aku memangkumu dan menjawab pertanyaan yang sama untukmu sebanyak 10 kali, sedangkan saat ini aku hanya bertanya 3 kali, tapi kau membentakku 2 kali..” Si anak tersentak, lalu memeluk mamanya. Moral of this story Mohon ampunan jika km pernah menyakiti hati Ibumu. Sesungguhnya ia sangat takut, takut akan waktunya yang cuma sebentar di dunia ini. Karna suatu hari nanti, ia tak akan bisa melihatmu tertawa, melihatmu marah, menangis, tak bisa mengajarimu, tak bisa melindungimu lagi. Bilamana hari itu tiba, akankah kau menangisi kepergiannya?
|






















No comments:
Post a Comment